PENGANTAR

Pendidikan non formal merupakan salah satu jenis pendidikan yang tertuang dalam undang-undang sistem pendidikan nasional nomor 20 tahun 2003. Pendidikan non formal dikenal sebagai pengganti, penambah, dan pelengkap pengetahuan dari pendidikan formal (Coombs, 1985). Mulai dari anak usia dini sampai usia lanjut pasti membutuhkan pengetahuan dan keterampilan guna melangsungkan kehidupan di dunia. Untuk mencukupi pengetahuan,keterampilan serta sikap seseorang tidak cukup hanya mengenyam pendidikan formal saja namun juga membutuhkan pendidikan non formal serta informal tanpa disadari.

Pada zaman pasca kemerdekaan negara kita banyak menyelenggarakan  pendidikan non formal untuk memberantas buta aksara (Marzuki, 2010). Tujuannya untuk memerangi kebodohan pada masyarakat sehingga penjajahan tidak akan terjadi  akibat buta huruf yang diderita mayoritas bangsa indonesia saat itu. Tidak perlu tempat yang mewah, masyarakat di seluruh pelosok bisa mendapatkan pendidikan untuk bisa membaca. Tidak perlu juga tenaga pendidik yang mendapatkan imbalan karena masyrakat pada saat itu bergotong royong untuk mencerdaskan bangsa. Masyarakat yang sudah mengenal huruf, bisa membaca akan memberikan ilmunya kepada yang masih buta huruf.

Pendidikan Nonformal

Seiring dengan perkembangan zaman pendidikan nonformal/pendidikan luar sekolah dipandang sebagai penambah dan pelengkap  dari pendidikan formal. Seakan lupa dulunya pendidikan non formal pernah berperan besar layaknya  sekolah formal zaman sekarang yang mengajarkan masyarakat dari tidak tahu menjadi tahu. Peran pendidikan luar sekolah sebagai pengganti sekarang ini hanya dikenal masyarakat melalui program kesetaraan dan home schooling. Program pendidikan luar sekolah seperti Pusat Kegiatan Belajar maasyarakat, Kelompok belajar paket, pemberdayaan perempuan, PAUD dan lain sebagainya merupakan progam pendidikan yang sudah mulai menjamur dikalangan masyrakat. Meskipun beberapa PKBM kerap kali disebut sebagai sekolah proyek yakni lembaga yang hanya buka ketika menjelang penerimaan bantuan dari pemerintah. Ada juga yang menyebut PKBM sebagai Sekolah serba paket, cukup ikut ujian saja sudah mendapat ijazah.

Padahal dalam negara yang sedang berkembang seperti Indonesia ini, Peran pendidikan nonformal sangat besar dalam mendampingi pembangunan ekonomi dan politik. Pembangunan yang semakin meluas dan penemuan-penemuan di bidang ilmu dan teknologi akan membuka kesempatan yang lebih luas dan permasalahan yang semakin rumit yang penyelesaiannya tidak dapat dikerjakan sendiri oleh pendidikan formal.  Perkembangan ilmu dan teknologi yang pesat menuntut seseorang untuk selalu mengadakan penyegaran yang terus menerus untuk menjaga agar pengetahuan yang telah dimilki melalui pendidikan formal tidak beku dan tanpa fungsi. Kebutuhan –kebuthan pribadi yang makin meningkat sesuai dengan  kemajuan pada abad ini menuntut diri agar selalu aktif mengadakan penyesuaian diri yang terus menerus terhadap perkembangan dan kemajuan masyarakat. Untuk itu kita harus selalu memiliki pengetahuan dan keterampilan yang tidak ketinggalan zaman yang semua itu dapat diperoleh melalui pendidikan pendidikan non formal.</p

>

Sebaik-baik sistem pendidikan, tentu membutuhkan dukungan berupa partisipasi. Partisipasi merupakan upaya keikutsertaan terhadap sesuatu yang disengaja oleh pihak partisipan demi mencapai tujuan tertentu. Seseorang akan bergabung dalam sebuah  kelompok jika kelompok tersebut memiliki tujuan yang sama dengan dirinya, minimal kelompok tersebut sebagai jalan/wadah untuk mencapai tujuannya. Pemberian materi fisik maupun non fisik, ide, gagasan, tenaga merupakan beberapa jenis partisipasi yang biasa masyarakat berikan sebagai rasa kepedulian terhadap sesuatu yang akan dicapai. Dalam hal gotong royong misalnya, masyarakat akan memberikan waktu, tenaga mereka untuk mencapai sebuah tujuan dari gotong royong. Jika gotong royong tujuannya untuk membersihkan lingkungan dari sampah yang dapat mengakibatkan sumber penyakit bagi masyarakat, maka peluang untuk dapat berpartisipasi akan semakin besar karena tenaga,waktu yang masyarakat berikan semata-mata untuk menjaga mereka dari ancaman penyakit.

Begitu juga kalau boleh dianalogikan dengan program-program pendidikan non formal, identifikasi kebutuhan merupakan elemen penting dalam perencanaan program. Bagaimana masyarakat mau mendukung program yang kita buat jika itu tidak membawa dampak apapun bagi mereka, apalagi jika mengharapkan partisipasinya. Setiap individu pasti membutuhkan pendidikan lanjut untuk dirinya, baik itu berupa keterampilan, keahlian maupun ilmu pengetahuan yang ingin ia dapatkan. Dan untuk menyerap semua kebutuhan masyarakat tersebut dibutuhkan identifikasi secara jujur dan independen dari pelaksana progam PNF. Jujur berarti apa adanya, data yang didapat tidak dibuat-buat. Independen berarti pelaksanaan program tidak ada maksud lain selain untuk memenuhi kebutuhan masyarakat. Artinya bukan sebagai formalitas dalam mengidentifikasi yang hasilnya akan diarahkan/disamakan dengan program bantuan pemerintah yang ingin diperoleh. Meraup keuntungan demi perkembangan lembaga namun melupakan makna terselenggaranya program PNF. 

Identifikasi kebutuhan belajar yang tepat sasaran tentunya akan memberikan dampak yang sangat besar nantinya dalam pelaksanaan program. Masyarakat pesisir yang sebagian besar berprofesi sebagai nelayan tentu tidak begitu tertarik dengan kebutuhan belajar mengetahui komputer, internet, berwirausaha dengan sumber alam yang bukan dari laut. Kalaupun mereka membutuhkan pasti dalam pelaksanaan programnya partisipasi masyarakat sangat kecil dibandingkan apabila mengidentifikasi kebutuhan belajar mereka dalam hal berlayar, mencari ikan, mengelola tambak ikan dan sebagainya, karena hal tersebut dapat meningkatkan pendapatan mereka sehingga meskipun mereka meluangkan waktu untuk menerima pelatihan/pendidikan dalam program PNF yang dilaksanakan, mereka tidak membuang-buang waktunya karena yang mereka terima ialah cara bagaimana menigkatkan kebutuhan hidup sehari-hari melalui produktifitas dalam melaut.

Pelaksanaan program PNF yang berjenis “auto machine” seperti ini, yang bergerak karena kesadaran si pembuat program dengan mengidentifikasi secara independen bukan permintaan dari pihak manapun setidaknya memulai perencanaan programnya untuk peningkatan pendapatan ekonomi masyarakat, karena secara psikologis hal tersebut memiliki lebih besar peluang untuk meningkatkan partisipasi masyarakat dalam program PNF yang dilaksanakan. Meskipun hal tersebut perlu diteliti lebih lanjut agar mendapatkan hasil yang sebenarnya selain dengan pemikiran-pemikiran diatas. Peran seorang “surveyor” atau tenaga lapangan juga sangat berperan penting dalam upaya meningkatkan partisipasi masyarakat. Tenaga lapangan tentu menjadi salah satu kunci keberhasilan program PNF, karena melalui tenaga lapangan kebutuhan belajar masyarakat akan terdata. Hal ini berarti seorang tenaga lapangan juga harus memiliki kejujuran serta independensi yang tinggi agar semua jenis kebutuhan belajar masyarakat tergambar apa adanya tanpa penggiringan apapun.

Dalam pelaksanaannya, program-program PNF yang sering dijumpai terkesan seperti acara yang digunakan untuk menghabiskan uang negara saja. Buat program pelatihan, keterampilan, dan sebagainya namun melupakan keefektifannya dan tanpa didahului proses identifikasi kebutuhan.Tapi pemahaman tersebut terbantahkan karena tanpa diidentifikasi pun tingkat partisipasi pesertanya tinggi karena setelah program/pelatihannya selesai ada sebuah bentuk apresiasi materi yang diberikan dalam bentuk uang. Tentu anggapan mayoritas orang akan berkata “Ya” karena uang. Apalagi jika kita lihat golongan masyarakat yang menikmati program tersebut ialah golongan menengah yang rata-rata berprofesi sebagai pendidik, maksudnya lebih baik tingkat pendapatannya dengan masyarakat yang dikemukakan di atas tadi. Mengapa tidak kita balik keadaannya bahwa setiap pelatihan/penyuluhan masyarakat juga diberikan apresiasi materil yang lebih besar?, mengapa tidak kita berikan uang modal dengan Cuma-Cuma agar masyarakat mau berpartisipasi? Tentu hal tersebut bukan kaidahnya Pendidikan Non Formal, ketika masyarakat membutuhkan ikan, mengapa kita memberikannya ikan? Hal tersebut bisa membuat aspek sosiologis masyarakat berubah drastis menjadi manja bantuan. Alangkah lebih baik jika masyarakat butuh ikan maka kita cukup memberikan “Pancing”, dan itulah sebenar-benarnya pemberdayaaan.   Permasalahan di atas sangat banyak terjadi di lembaga pemerintah seperti dinas pendidikan yang notabennya memiliki bidang PNF. Maka jangan heran di lingkungan perkantoran jika mendengar kata PNF maka yang terlintas dipikiran oknum-oknum tersebut adalah “Proyek”, bahkan mahasiswa PLS/PNF dikatakan calon banyak duit dan tak jarang anak-anak mereka direkomendasikan untuk kuliah di jurusan PNF. Meskipun tidak dipungkiri masih ada yang benar-benar tulus untuk mengembangkan masyarakat melalui PNF, berjuang dari titik nol pengabdian, dari minus harapan, dari sebongkah permasalahan untuk segudang kebermanfaatan bagi masyarakat, merekalah para pejuang Mahasiswa Pendidikan Non Formal.